Wednesday, February 7, 2024

Aku si Performer Lokal Era 90an

Setelah menjadi orang dewasa, banyak di antara kita yang menyadari bahwa masa kecil adalah masa paling menyenangkan dan paling dirindukan. Setelah mengalami berbagai kerumitan hidup, mengenang masa kecil mengingatkan saya betapa sederhananya hidup pada kala itu. Lucunya, justru kita ingin lekas menjadi orang dewasa supaya bebas melakukan apa pun tanpa kendali orang tua.  

Saya lahir dan besar di kota kecil di ujung utara Kalimantan Barat yang dikenal dengan Sambas. Terlahir sebagai anak terakhir dari pasangan guru bagi saya adalah privilese. Usia saya terpaut cukup jauh dengan kakak - kakak saya (10 tahun dan 6 tahun). Sejak lahir saya selalu ada dan terlibat dalam aktivitas yang kakak - kakak saya lakukan. Mereka belajar, saya ikut belajar (menganggu dan mencoret buku mereka). Mereka diajari mengaji dan seni baca Al Qur'an oleh Mamak, saya pun turut serta. Masih ada sekelebat memori saya mengingatkan Mamak surat terakhir yang beliau baca dan memori saat saya menyobek lembaran Al Qur'an ketika masih balita.  Dan satu hal yang mungkin tidak semua orang tua pada masa itu ajarkan pada anak-anaknya adalah tampil di atas panggung. Mamak mendorong kakak - kakak saya untuk tampil pada banyak pentas di kecamatan, sebagai penari tradisional, menyanyi, bahkan tampil sebagai Qori'ah. Pada banyak kesempatan, di rumah saya selalu melihat Mamak melatih kakak - kakak saya cara bernyanyi yang baik dan tampil menguasai pentas dengan baik. Kakak saya yang ketiga bahkan sampai mengikuti ajang kompetisi bernyanyi nasional karena hobi ini. Saya yang sejak lahir terbiasa dengan suasana rumah yang seperti ini, pun tumbuh menjadi anak yang senang bernyanyi. 

Pentas pertama saya adalah saat perpisahan TK, usia saya saat itu 5,5 tahun. Selain menari bersama teman-teman, saya tampil sendiri bernyanyi. Saya lupa judul lagunya, yang jelas saya sangat bangga kala itu, bisa bernyanyi dengan nada yang cukup tinggi. Saat kelas 2 SD saya dipercaya berdeklamasi saat ada kunjungan gubernur ke sekolah kami dalam rangka program 'Mak Lurah' (Makan Telur di Sekolah). Entah apa yang membuat guru saya mempercayakan anak usia 7 tahun mendeklamasikan puisi. Puisi berjudul "Guruku', yang saya tulis sendiri, saya deklamasikan di depan Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi dan seisi sekolah. Deklamasi ini tidak berjalan lancar, karena saya lupa bait puisinya di tengah-tengah. Saya sempat terhenti sejenak, kemudian melanjutkan dengan kata-kata karangan yang muncul begitu saja. Alhasil, sang ibu ketua PKK gemas dan langsung ke pentas merangkul dan mencium pipi saya. Pipi saya merah terkena gincunya. Ibu guru langsung menggendong saya. Orang- orang menimang saya. Tentu, saya bingung, kenapa orang-orang bereaksi seperti itu? Kalau diingat lagi, ternyata situasinya memang lucu. Saya rasa, pengalaman itu menjadi pengalaman pertama saya dalam hidup mengatasi krisis di saat genting. 

Saya semakin aktif di pentas bernyanyi dan berdeklamasi puisi sejak kelas 3 SD. Mama mengikutkan saya pada banyak pentas di kecamatan. Pentas 17-an, pentas seni di desa, bahkan kegiatan perpisahan sekolah, peringatan hari ibu, kegiatan Dharma Wanita Persatuan dan PKK. Rekam jejak kakak - kakak saya yang sebelumnya juga aktif tampil di pentas membuat orang selalu menghubungi Mamak saya jika butuh penampil dalam event mereka. Namun karena semua kakak saya merantau setelah lulus SMP, saya lah yang selalu mengisi acara -acara itu. 

Sebagian Foto saat Pentas, Lomba, dan berlatih di rumah
Foto oleh Mamak
 

Karena saya juga bersekolah di tempat yang sama dengan kakak - kakak saya, guru kami menganggap saya memiliki bakat dan prestasi seperti kakak saya. Sejak kelas 2 SD saya sudah ikut berbagai kompetisi puisi dan PORSENI. Ada satu kompetisi yang paling berkesan dalam hidup saya. Kompetisi  ini adalah Lomba Deklamasi Puisi yang diikuti siswa SD yang rata-rata sudah kelas 5 dan 6. Saya dan teman saya adalah peserta termuda dalam lomba ini, karena kami berdua masih kelas 2 SD. Ada 2 puisi yang harus dibawakan, satu puisi wajib dan satu puisi pilihan. Saya lupa dengan puisi pilihannya, tapi puisi wajib yang harus kami deklamasikan saat itu adalah Do'a karya Chairil Anwar. Alih-alih guru, saya justru diantar dan didampingi Bapak saat lomba. Saya ingat saya diantar Vespa putih Bapak, memakai gaun pendek kembang berwarna putih dan memakai bando. Saat tampil saya merasa sudah sangat bagus dan keren. Tapi saat melihat peserta lain ternyata banyak sekali orang yang lebih bagus penampilannya dibandingkan saya. Saat pengumuman pemenang, saya merasa yakin saya setidaknya bisa mendapat juara 3, namun ternyata saya tidak mendapat juara apa pun. Saya yang masih berusia 7, sangat kecewa. Bapak menepuk bahu dan membelai rambut saya sambil mengatakan, "Tidak apa-apa." Setibanya di rumah saya menghambur ke kamar, menenggelamkan muka ke bantal, dan menangis tanpa sepengetahuan Bapak. Itu dalah kekalahan pertama dalam hidup saya. Kekalahan pertama yang membuat saya sadar, "ternyata aku tidak bagus-bagus amat berpuisi. Kenapa mereka selalu memujiku?" Setelah kekalahan itu saya (sepertinya) belajar lebih baik lagi. Pelatihnya, tentu saja Mamak saya, guru bahasa Indonesia SMP. Pada saat Porseni tingkat kecamatan, saya menjadi juara pertama dalam lomba deklamasi puisi. Sejak itu, saya selalu menjadi juara pertama dalam lomba Deklamasi puisi bahkan hingga tingkat kabupaten. Hanya saja, tanpa saya sadari, kekalahan itu menjadi luka dalam yang terbawa hingga dewasa. Mungkin kelak akan saya ceritakan di tulisan lainnya.

Kembali mengenang dan menuliskan masa kecil membuat saya semakin mensyukuri keberadaan kedua orang tua dan kakak - kakak saya dalam masa tumbuh kembang saya. Mamak dengan caranya sendiri, telah menumbuhkan keberanian dan kepercayaan diri saya. Semua pengalaman masa kecil ini tidak hanya menjadikan saya pribadi yang berani namun perlahan mengajarkan saya menghadapi lika - liku kehidupan, menghadapi kegagalan, mengatasi masalah dan krisis. Ada luka yang tersisa dari pengasuhan, tapi itu pun di masa depan memberikan saya pelajaran yang berbeda.  


#tantanganMaGaTa







Bagikan

Jangan lewatkan

Aku si Performer Lokal Era 90an
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.