Halo
Liburan. Halo Buku – buku (ceile, sombong benerr dah baca buku, padahal ga
sempet kebaca semua).
Ceritanya,
kemarin saya tergoda untuk beli buku ini. Judulnya: “Public Policy” oleh Dr.
Riant Nugroho. Bukunya tebal dengan 827
halaman, lumayan bisa dijadikan bantal (loh!? :D). Alasan saya beli buku ini ya
karena topik Public Policy selalu
menarik buat saya (sejak kapan ya?) dan karena cinta pada pandangan pertama
dengan sampul bukunya yang lucu, indah nan berwarna biru.

Pada
hari kedua liburan saya, setelah agak bosan membaca buku – buku fiksi dan buku –
buku lucu saya penasaran sekali ingin membaca buku ini. Apa yang membuat buku
ini berbeda dengan buku tentang Public
Policy lainnya, yang selama ini banyak diacu oleh orang. Sebut saja buku
Analisis Kebijakan miliknya William Dunn. Buku itu seperti buku sakti hampir
bagi semua orang, akademisi maupun
praktisi. Tadinya saya membuka – buka daftar
isi, lalu daftar pustaka dan mulai screening
isi buku ini. Dan memutuskan untuk membacanya layaknya membaca buku cerita,
dari kata pengantar hingga akhir. Aneh, kata kawan saya. Tapi, saya kira buku
ini menarik untuk dibaca dari awal. Untuk saya memahami latar belakang penulis
dan latar belakang penulisan buku ini.
Rupanya
saya salah (tidak salah – salah amat sebetulnya). Buku ini lebih dari sekedar
menarik (untuk ukuran buku teks), setiap halamannya ingin saya ketahui. Banyak
hal tak terduga yang saya dapatkan dari buku ini. Seperti membaca novel. Otak saya bekerja, tidak sekedar menerima (juga
menolak) premis – premis dan teori yang dipaparkan penulis, namun juga membayangkan
yang terjadi dalam pekerjaan saya yang juga akrab dengan ranah kebijakan
publik.
Bagian
pertama, tentang Dinamika Kebijakan Publik memang belum masuk pada pembahasan teori
Kebijakan Publik yang seringkali berkutat pada siklus perumusan – implementasi –
pengendalian- monitoring dan evaluasi. Namun memaparkan makna kebijakan publik
yang sebenarnya, kekeliruan pemahaman dan implementasinya dalam kehidupan
bernegara. Yang menarik buat saya adalah, teori – teori manajemen yang disitir
penulis dalam membahas kebijakan publik. Diantaranya buku- buku Peter F.
Drucker, seorang ahli Manajemen yang justru saya kenal lewat sebuah Dorama
Jepang (Oh, drama itu sangat bermanfaat kawan).
Bagian
kedua dan seterusnya? Terus terang belum selesai, kawan. Saya baru sampai pada
halaman 123. Masih seperdelapan dari total isi buku ini. Tapi baru membaca 1/8
nya banyak pikiran – pikiran usil saya bermunculan.
1. Tentang
banyaknya produk hukum atau peraturan perundangan di Indonesia. Misalnya di
daerah, hampir semua dokumen kebijakan baik itu RPJPD (Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Daerah), RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, RTRW
(Rencana Tata Ruang Wilayah) dijadikan produk hukum. Selain 3 (tiga) dokumen
itu, banyak juga produk kementerian yang dibawa ke daerah yang juga harus jadi
Perda misalnya master plan sektoral. Tidak salah memang, kebijakan publik memang
harus ada aspek legal untuk menjamin pelaksanaannya. Padahal menurut saya,
tidak perlu semua jadi Peraturan Perundangan. Bisa dibayangkan berapa dana yang
harus dikeluarkan untuk membuat satu produk hukum? Saya kira lebih dari cukup
untuk mendanai hal lain yang lebih penting bagi pembangunan negara kita.
Khususnya di aspek kesehatan dan pendidikan.
2. Membaca
buku ini membuat saya sadar, kebijakan yang diambil oleh seorang Bupati Sambas (Provinsi Kalimantan Barat) saat ini tidak
sepenuhnya salah. Kebijakan apa? Bupati periode ini sangat concern dengan aspek pendidikan dan kesehatan. Beliau tidak segan
berinvestasi besar pada kedua bidang ini. Tapi, menurut saya salahnya, beliau
kurang concern dengan pembangunan infrastruktur
(menurut pengamatan saya dari rencana kerja beliau di RPJMD). Dalam buku Public Policy ini, menurut Dr. Riant Nugroho, urusan utama
Pemerintah Daerah adalah Kewargaan – perijinan, kesehatan, pendidikan dan
ketertiban. Urusan pendukung adalah air dan sanitasi, sampah dan limbah,
transportasi massal dan keseimbangan lingkungan sedangkan pelengkap adalah soal
keindahan dan kenyamanan. Artinya, mengedepankan urusan utama penting namun
bukan berarti mengabaikan urusan pendukung dan pelengkap bukan?
3. Sejak
reformasi hingga kini, ramai sekali pemekaran wilayah dilakukan. Saya sangat
mendukung, terutama bagi daerah – daerah di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan
Papua. Sulit memang untuk mengatur wilayah yang sebegitu luas. Tapi bila suatu
wilayah hasil pemekaran, kemudian dilakukan pemekaran lagi dalam waktu kurang
dari 10 tahun? Entah kenapa saya sangat menyayangkan ini. Dari sisi luas
wilayah yang perlu diatur memang menjadi lebih efisien, tapi dari sisi yang
lain bagaimana? Dokumen perencanaan pembangunan, Master Plan sektoral, Rencana Tata Ruang Wilayah yang baru dibuat
dan menghabiskan banyak dana, apa perlu dibuat kembali setelah 5 tahun kemudian
hanya karena pemekaran wilayah. Katakanlah, pemekaran wilayah ini tidak
sepenuhnya mengubah struktur dan fungsi pusat kegiatan di dalamnya, tapi dengan
Kepala Daerah yang baru, DPRD yang baru, ada banyak inovasi baru dan juga
kepentingan ‘politik’ yang baru. Butuh
pembangunan pusat pemerintahan yang baru, butuh belanja fisik dan non fisik
yang baru. Semuanya butuh pendanaan yang tidak sedikit. Dengan kondisi
Indonesia seperti saat ini, itukan prioritas? Oh, satu lagi. Pemekaran wilayah
butuh kajian yang baik, untuk memastikan kelayakannya menjadi kabupaten/ kota
atau provinsi yang baru. Lagi – lagi, biaya bukan?
4. Dalam
sebuah proyek pembangunan, tim (yang ada saya didalamnya) diharuskan mengkaji dokumen
perencanaan pembangunan di wilayah tersebut. Saya mengkaji 23 dokumen , 4
dokumen kebijakan skala kabupaten, 18 dokumen rencana tata ruang ibukota
kecamatan dan rencana detail tata ruang kawasan perkotaan dan 1 masterplan air
bersih Ibukota Kabupaten. Yang membuat
saya sedih, 18 dokumen ini sepertinya tidak sepenuhnya dijadikan acuan
pembangunan Ibukota Kecamatan oleh Pemerintah Kabupaten tersebut. Saya bahkan
curiga, dokumen ini (sebelum saya pinjam) telah tersimpan baik di perpustakaan
Bappeda. Dan lebih menyedihkan lagi, apabila melihat isinya. Satu dokumen
dengan dokumen lainnya sangat mirip isinya dan sangat normatif. Menandakan
bahwa konsultan pembuatnya sama. Membuat 18 dokumen ini butuh waktu dan biaya.
Katakanlah minimal satu dokumen bernilai 100 juta, bayangkan berapa rupiah yang
disia – siakan untuk menghasilkan 18 dokumen yang dipertanyakan kualitas
analisis dan kajiannya? Yang bahkan sangat wajar bila Pemkab tidak
menggunakannya sebagai acuan penataan ruang bagi tiap IKK.
5. Tahun 1998 perekonomian Indonesia hancur. Padahal
sebelumnya diramalkan akan menjadi salah satu negara Asia yang akan maju tahun
2020 nanti. Rupanya itu hanya mimpi, kondisi sebenarnya perekonomian kita
rapuh, tampak maju namun sebetulnya bersandar pada dinding tanpa pondasi yang
dapat runtuh kapan saja. Dan sekarang, Indonesia kembali dipuji. Disebut
sebagai negara yang berpotensi maju bersama negara lain semacam Cina dan Korea
Selatan. Tahukah kalian kawan, feeling saya
sebagai wanita (bukan sebagai ahli) pesimis!
Membaca
buku ini, hingga pada halaman 123, menyentak sekaligus mengkhawatirkan saya. Apa
benar ini ulah kebijakan publik yang tidak unggul di negara ini? Apa yang akan
terjadi pada negara kita? Dan kebijakan publik yang seperti apa yang dimaksud
Dr. Riant Nugroho? Ya, tunggu sampai
saya selesai membacanya.Tapi, setelah ini sepertinya saya ingin membaca buku Dee, Madre. Buku ini dari tadi menggoda - goda saya untuk membacanya. Baiklah, otak saya butuh keseimbangan! :))
salam hangat, Tiech.